Sunardi

Rabu, 12 Juli 2017



Hal tersebut dilakukan agar para produsen kendaraan berlomba untuk memproduksi kendaraan yang lebih ramah lingkungan dan sejalan dengan program emisi karbon rendah (low carbon emission program/LCEP) yang diusung pemerintah.
I Gusti Putu Suryawirawan, Direktur Jenderal Industri Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (Ilmate) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan pihaknya dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah membahas perhitungan pajak kendaraan tersebut.
"Masih dibahas oleh kementerian keuangan dan belum selesai, masih dihitung-hitung, pajak yang pas itu seperti apa. Di mana untuk yang mengeluarkan karbon sekian kilogram per kilometer akan dikenakan berapa. Terus dibandingkan dengan struktur pajak barang yang menggunakan ukuran mesin," ujar Suryawirawan seperti dikutip KompasOtomotif, Senin (7/11/2016).
Selain Kemenkeu, pembahasan masalah pajak kendaraan ini juga melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo).
Jadi, jika pemerintah menerapkan basis pajak ini, semakin kecil emisi CO2 yang dihasilkan kendaraan tersebut, semakin murah pajak yang mesti dibayarkannya.
Suryawirawan menyatakan mereka tengah mempelajari sistem pajak kendaraan berdasarkan emisi CO2 yang telah diterapkan oleh negara lain.
"Kami sudah mengumpulkan berbagai sumber dari beberapa negara, agar kita tidak perlu lagi menyusun dari nol, Thailand sudah masa kita kalah," tuturnya.
Thailand, mengutip Mazars, sudah menyusun pajak kendaraan berbasis emisi CO2 pada 2015 dan mulai menerapkannya sejak Januari 2016.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga tengah menghitung pemberian insentif bagi kendaraan ramah lingkungan. Semakin kecil polusi yang dihasilkan, makin besar insentif yang diterima produsen kendaraan tersebut.
"Kalau insentif udah pasti tadi kan, dari insentif pengembangannya sudah dapat. Nantinya dengan adanya CO2 tax yang berbasis CO2, kita harapkan akan semakin tinggi lagi insentifnya," Suryawirawan menjelaskan kepada detikOto.
Sebelumnya, pada September lalu, pemerintah juga mengungkapkan rencana untuk memberi diskon Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) kepada produsen yang mampu memproduksi mobil rendah emisi karbon dan irit penggunaan BBM.
"Semakin irit penggunaan BBM, semakin besar diskon PPnBM-nya," kata Yan Sibarang Tandiele, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan, Kementerian Perindustrian kepada Kontan, Kamis (1/9).
Akan tetapi, Yan melanjutkan, ada syarat lain yang harus dipenuhi. Kendaraan tersebut harus diproduksi di Indonesia dan menggunakan komponen produk Indonesia.
"Harapan kami, Ini bisa mengundang produsen mobil hibrida atau mobil ramah lingkungan memproduksi mobilnya di Indonesia," ujar Yan.
Sementara itu, Gaikindo menyatakan perubahan kebijakan ini mesti dipersiapkan dengan sangat matang. Menurut Sekretaris Jenderal Gaikindo, Kukuh Kumara, mengubah kebijakan tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Itu bukan hal kecil perlu kajian matang secara strategis kita udah mengarah kesana," kata Kukuh.
Contoh sederhana, jika pemerintah ingin menerapkan kebijakan tersebut maka sarana dan prasarana pendukungnya mesti tersedia, misalnya jenis bahan bakar minyak (BBM). Kendaraan ramah lingkungan membutuhkan BBM yang standarnya sesuai.
Saat ini standar bahan bakar minyak untuk kendaraan di Indonesia masih berstandar Euro 2, sementara di negara-negara Eropa, yang sudah menerapkan sistem pajak berdasarkan emisi CO2, BBM yang dijual sudah berstandar Euro 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar